Jumat, 16 Desember 2016

Makalah Aliran Mu'tazilah

Makalah Ilmu Kalam ( Aliran Mu'tazilah)


BAB I

PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang


            Aliran Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filofofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khowarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum Rasionalis Islam”.

            Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2H tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’Al-Makhzumi Al-Ghozzal.

            Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.



B.     Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah sebagia berikut :

1.      Bagaimana asal-usul kemunculan Mu’tazilah?

2.      Bagaimana penanaman aliran Mu’tazilah?

3.      Siapa tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah?

4.      Bagaimana ajaran aliran Mu’tazilah?


C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui asal-usul munculnya Mu’tazilah

2.      Untuk mengetahui asal-usul penamaan Mu’tazilah

3.      Untuk mengetahui ajaran aliran Mu’tazilah

4.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah




 BAB II

PEMBAHASAN







A.    Asal-Usul Kemunculan Mu’tazilah

            Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada golongan.[1]

            Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).

            Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah dan Abdullah bin Zubair.

            Golongan  kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir pada golongan orang yang berbuat dosa besar.[2]

            Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Bashrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Bashri di masjid Bashrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Bashri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Bashri masih berpikir, Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Al Bashri dan pergi ke tempat lain di lingkungan masjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Bashri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
      

B.      Penamaan Mu’tazilah

            Riwayat  tentang asal-usul sebutan Mu’tazilah ada tiga, yang kesemuanya berkisar sekitar arti i’tazala yang artinya memisahkan diri, menjauhkan diri atau menyalahi pendapat orang lain. Ada beberapa teori kenapa aliran ini dinamakan Mu’tazilah, yaitu :

1.      Washil bin ‘Atha dan ‘Amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri (keluar) dari pengajian Hasan Basri di Mesjid Basrah kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mukmin,

2.      Kelompok Mu’tazilah menjauhkan atau menyalahi semua pendapat yang ada tentang orang yang mengerjakan dosa besar.

3.      Pendapat mereka yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar berarti menjauhkan diri dari golongan ornag-orang mukmin dna juga golongan orang-orang kafir.[3]

            Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang bisa disebut buku-buku ‘ilm al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di masjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di masjid; disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala’ anna)”. Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.[4]

            Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian paham antara Wasil dan ‘Amr dari satu pihak dan Hasan al-Basri daripihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan juga kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-Manzilah bain al-Manzilatain). Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah, karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.

            Dengan demikian golongan Mu’tazilah pertama ini mempunyai corak politik. Dan dalam pendapat Ahmad Amin, Mu’tazilah kedua yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil, juga mempunyai corak politikkarena mereka sebagai kaum Khawarij dan kaum Murji’ah. Perbedaan antara keduanya ialah bahwa Mu’tazilah kedua menambahkan persoalan-persoalan teologi dan falsafat ke dalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka.



C.    Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah

            Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing memiliki pemikiran yang berbeda dengan tokoh-tokoh yang lainnya, sehingga masing-masing tokoh punya aliran sendiri-sendiri. [5]    Dari segi geografis Mu’tazilah  dibagi menjadi 2 yaitu aliran mu’tazilah Bashrah dan aliran mu’tazilah Baghdad. Aliran Bashrah lebih dahulu munculnya, lebih banyak mempunyai kepribadian sendiri dan yang pertama- tama mendirikan aliran mu’tazilah. perbedaan antara kedua aliran mu’tazilah tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan kulturil.

Tokoh- tokoh aliran Bashrah antara lain:

1.    Washil bin ‘Atha’ ( 80-131 H/ 699-748 M)


            Terkenal sebagai pendiri aliran mu’tazilah dan kepalanya yang pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip dasar.

2.    Al-‘Allaf ( 135-226 H/ 752-840 M)

            Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad bin Al-Huzail Al-‘allaf. puncak kebesarannya dicapainya pada masa khalifah Al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama. Menurut riwayat pada tiga ribu orang yang masuk islam di tangannya. Ia banyak berhubungan dengan filosof- filosof dan buku- buku filsafat.

3.    An-Nazham ( wafat 231 H/ 845 M)

            Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazham. Ia merupakan tokoh mu’tazilah yang terkemuka, lancar bicara, dan banyak mendalami filsafat. Ia sangat bebas berpikir dan berani menyerang ahli hadis karena tidak banyak percaya pada kesahihan hadis-hadis. Karena ia sangat menjunjung Al-Qur’an.

4.    Al-Jubbai (wafat 303 H/ 915 M)

            Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai, tokoh mu’tazilah basrah dan murid as-Syahham. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Abu Hasim Al-Jubbai mencerminkan akhir masa kejayaan aliran mu’tazilah.


Tokoh- tokoh aliran Baghdad antara lain:

1.      Bisjr bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M)

            Ia memiliki pandangan mengenai kesusastraan. Ia adalah orang yang pertama kali mengemukakan soal “tawallud” (reproduction) yang boleh jadi dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya.

2.      Al-Chayyat (wafat 300 H/ 912 M)

Nama lengkapnya adalah Abu al-Husein Al-Khayyat. ia adalah pengarang buku “al-Intisar” yang dimaksudkan untuk membela aliran mu’tazilah.
3.      Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M)

            Ia mengulas tentang pokok-pokok ajaran aliran mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid dan banyak dikutip oleh as-Syarif al Murtadha.

4.      Az-Zamaihsyari (467-538 H/ 1075-1144M)

            Nama lengkapnya adalah Jar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar. Selama hidupnya ia banyak mengadakan perlawatan dari negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke Makkah untuk bertempat di sana beberapa tahun dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Jurjan (Persi-Iran). Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu, dan paramasastera (lexicology).



D.     Ajarah-Ajaran Aliran Mu’tazilah

            Abu huzail Al-Allaf, merumuskan lima prinsip pokok-pokok ajaran mu’tazilah antara lain :

1)      At-Tauhid (Keesaan Allah)

            Ar-Tauhid adalah prinsip dan dasar pertama dan yang paling utama dalam aqidah islam. Dengan demikian prinsip ini bukan hanya milik mu’tazilah, melainkan milik semua umat islam. Akan tetapi mu’tazilah lebih mengkhususkannya lagi kedalam empat beberapa pendapat diantaranya :

a)      Menafikan sifat-sifat Allah.

            Dalam hal ini mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat pada allah. Apa yang dipandang orang sebagai sifat bagi mu’tazilah tidak lain adalah Dzat allah itu sendiri, dalam artian allah tidak mempunyai sifat karena yang mempunyai sifat itu adalah makhluk. Jika tuhan mempunyai sifat berarti ada dua yang qadim yaitu dzat dan sifat sedangkan allah melihat, mendengar itu dengan dzatnya bukan dengan sifatnya.[6]

b)      Al-Qur’an adalah makhluk.

            Dikatakan makhluk karena al-Qur’an adalah firman dan tidak qadim dan perlu diyakini bahwa segala sesuatu selain allah itu adalah makhluk.

c)      Allah tidak dapat dilihat dengan mata.
            Karena allah adalah dzat yang ghaib, dan tidak mungkin dapat dilihat dengan mata akan tetapi kita harus meyakininya dengan keyakinan yang pasti.

d)     Berbeda dengan makhluknya (Mukhalafatuhu lilhawadist)

2)      Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)

            Prinsip ini mengajarkan bahwa, allah tidak menghendaki keburukan bagi hambanya, manusia sendirilah yang menghendaki keburukan itu. Karena pada dasarnya manusia diciptakan dalam keadaan fitrah (Suci). Hanya dengan kemampuan yang diberikan Tuhanlah, manusia dapat melakukan yang baik. Karena itu, jika ia melakukan kejahatan, berarti manusia itu sendirilah yang menghendaki hal tersebut. Dari prinsip inilah, timbul ajaran mu’tazilah yang dikenal dengan nama Al-Shalah Wa Al-Ashlah, artinya allah hany menghendaki sesuatu yang baik, bahkan sesuatu terbaik untuk kemaslahatan manusia.

3)      Al-Wa’d Wa-Al-Wai’d (Janji baik dan ancaman)

            Dalam hal ini Allah menjanjikan akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan akan menyiksa kepada orang yang berbuat jahat. Janji ini pasti dipenuhi oleh tuhan karena Allah tidak akan ingkar terhadap janjinya. Dalam prinsip ini mu’tazilah menolak adanya syafa’at atau pertolonagn dihari kiamat. Sebab syafaat bertentangan dengan janji tuhan.
4)      Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (Posisi diantara dua posisi)

            Pendapat ini dikemukakan oleh Washil Bin Atha’ dan merupakan pendapat yang pertama dari aliran mu’tazilah. Menurut ajaran ini, seorang muslim yang melakukan dosa besar dan tidak sempat bertaubat kepada allah SWT maka ia tidaklah mukmin dan tidak pula kafr. Ia berada diantara keduanya. Dikatakan tidak mukmin karena ia melakukan dosa besar dan dikatakan tidak kafir karena ia masi percaya kepada allah dan berpegang teguh pada dua kalimat syahadat. Dengan demikian Washil bin atha’ menyebutnya sebagai orang fasiq.

5)      Amar Makruf dan Nahi munkar.
            Prinsip ini menitik beratkan kepada permasalahan hukum fiqh, bahwa amar makruf dan nahi munkar harus ditegakkan dan wajib dilaksanakan. Kaum mu’tazilah sangat gigih melaksanakan prinsip ini, bahkan pernah melakukan kekerasan demi amar makruf dan nahi munkar.



 BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

            Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada golongan

            Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H
            Dari segi geografis Mu’tazilah  dibagi menjadi 2 yaitu aliran mu’tazilah Bashrah dan aliran mu’tazilah Baghdad. Aliran Bashrah lebih dahulu munculnya, lebih banyak mempunyai kepribadian sendiri dan yang pertama- tama mendirikan aliran mu’tazilah.

B. Saran
            Dalam menyusun makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu penulis menyarankan kepada pembaca agar memberikan kritikan dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA


Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006

Nasution Harun. Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 2013

Mulyadi, Aqidah Akhlak Madrasah Aliyah, Semarang: PT. Toha Putra, 2007

Abdul Razak, M. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Nasir Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996





                [1] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), hal. 77


                [2] Nasution Harun. Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 2013), hal. 43


                [3] Mulyadi, Aqidah Akhlak Madrasah Aliyah, (Semarang: PT. Toha Putra, 2007), hal. 84


                [4] Abdul Razak, M. Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 50


                [5] Op cit, Aqidah Akhlak…, hal. 85

                [6] Nasir Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 71